MEMPERSULIT KEMUDAHAN DARI NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Oleh
Ahmad bin Salim Ba Duwailan
Termasuk dalam pembahasan ini adalah, beberapa hal yang telah dimudahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau adalah orang yang diutus dengan hanifiyyah samhah (lurus lagi mudah), lalu dipersulit oleh mereka. Di antara hal yang dijadikan mudah itu adalah, berjalan tanpa alas kaki di jalanan, kemudian shalat dengan tidak membasuh kakinya terlebih dahulu.
Abu Dawud telah meriwayatkan dalam Sunannya, dari seorang wanita Bani ‘Abdil Asyhal, dia berkata, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, kami memiliki jalan yang berbau busuk menuju masjid, apa yang harus kami lakukan kalau kami sudah bersuci,” beliau bersabda, ‘Bukankah sesudahnya ada tanah yang lebih baik,’ wanita itu menjawab, Aku berkata, ‘Ya,’ beliau bersabda, “Tanah yang baik tersebut adalah untuk tanah yang itu (yang bau).”
‘Abdulah bin Mas‘ud Radhiyallahu anhu mengatakan, “Kami tidak berwudhu’ karena tanah yang kami injak.”
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, bahwa dirinya berjalan pada tanah yang kena hujan, kemudian masuk masjid dan shalat, dan tidak mencuci kedua kakinya.
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma ditanya tentang seorang lelaki yang menginjak kotoran, beliau berkata, “Bila kering maka tidak mengapa, bila basah maka dicuci yang terkena.”
Hafsh mengatakan, “Aku berjumpa dengan ‘Abdullah bin ‘Umar, kami sedang menuju masjid, ketika kami sampai, aku berbelok menuju tempat bersuci untuk membasuh kedua kakiku yang tertimpa sesuatu, maka ‘Abdullah berkata, ‘Tidak usah engkau lakukan, sebab engkau tadi menginjak tempat yang kotor, kemudian setelah itu menginjak tempat yang baik, -atau dia mengatakan: yang bersih,- maka hal itu menjadi penyucinya, lalu kami masuk masjid dan melakukan shalat.”
Abu Sya’tsa’ mengatakan, “Adalah Ibnu ’Umar dahulu berjalan di Mina pada kotoran hewan, dan darah kering tanpa alas kaki, kemudian masuk masjid dan shalat di dalamnya dan tidak membasuh kedua kakinya.”
‘Imran bin Hudair mengatakan, “Aku berjalan bersama Abi Mujliz menuju shalat Jum’at, dan di jalanan terdapat kotoran yang kering, maka dia melewatinya dan berkata, ini tidak lain adalah barang-barang hitam saja (yang telah mengering), dia pun datang tanpa alas kaki ke masjid dan shalat tidak mencuci kedua kakinya.”
‘Ashim al-Ahwal mengatakan, “Kami mendatangi Abul ‘Aliyah, kemudian kami meminta air untuk berwudhu’, dia berkata, ‘Bukankah kalian telah berwudhu’?’ kami katakan, ‘Ya,’ tetapi (bagaimana) dengan kotoran-kotoran yang telah kami lewati itu?’ Dia berkata, ‘Apakah kalian menginjak sesuatu yang basah dan menempel pada kaki kalian?’ Kami katakan, ‘Tidak’, dia berkata, ‘Terus bagaimana dengan yang melebihi kotoran-kotoran ini, yang mengering kemudian ditebarkan oleh angin di kepala dan janggut kalian?’”
MENGGOSOK KHUF ATAU SEPATU BILA NAJIS MENGENAI BAGIAN BAWAHNYA
Termasuk dalam pembahasan ini adalah apabila khuf atau sepatu terkena najis pada bagian bawahnya, maka cukup dengan menggosokkannya di tanah, hal ini adalah mutlak (umum), dan sah pula shalat dengannya, berdasarkan Sunnah yang telah tetap. Hal ini dinashkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan dipilih oleh para muhaqqiq dari para sahabatnya.
Abul Barakat berkata, “Dan riwayat yang menyatakan Sah dengan menggosokkan secara mutlak adalah shahih menurutku, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَطِىءَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ اْلأَذَى، فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُوْرٌ، وَفِي لَفْظٍ: إِذَا وَطِىءَ أَحَدُكُمْ اْلأَذَى بِخُفَّيْهِ فَطَهُوْرُهُمَا التُّرَابُ.
“Bila salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka tanah menjadi penyucinya,”[1]25
dalam lafazh yang lain,
“Bila salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan kedua sepatunya, maka tanah/debu menjadi penyuci keduanya.”[2]
Abu Sa‘id al-Khudri Radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat, kemudian melepas kedua sandalnya, maka para Sahabat pun melepaskan sandal mereka, ketika telah selesai shalat beliau berbalik dan mengatakan, “Kenapa kalian lepas?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami melihatmu melepaskannya, maka kami pun melepasnya, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabariku bahwa ada kotoran pada kedua sandal, maka bila salah seorang dari kalian mendatangi masjid hendaknya membalikkan kedua sandalnya, kemudian lihatlah, kalau dia melihat ada kotoran (khobats), maka bersihkanlah ke tanah, kemudian shalatlah mengenakan keduanya.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Penjelasan hadits di atas: Tidaklah benar apabila sesuatu yang dianggap kotor itu ditafsirkan dengan ingus atau yang lainnya yang suci. Hal itu karena beberapa alasan :
Pertama: Bahwa semua hal itu tidak dinamakan kotoran.
Kedua: Ingus dan sejenisnya tidaklah diperintahkan untuk mengusapnya ketika shalat, karena tidak membatalkannya.
Ketiga: Tidak perlu melepas sandal karenanya dalam shalat, sebab berarti melakukan amal perbuatan yang tidak perlu, minimalnya adalah makruh.
Keempat: Ad-Daraquthni meriwayatkan dalam Sunannya pada hadits al-Khal’, dari riwayat Ibnu ’Abbas, bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Jibril mendatangiku, kemudian mengabariku, bahwa pada keduanya (sepasang sandal beliau) terdapat darah puting susu.”[3]
Karena biasanya sandal itu merupakan tempat yang sering terkena najis, sehingga cukup mengusapnya dengan benda keras, sebagaimana halnya tempat untuk di-istijmar-i (disucikan dengan menggunakan batu atau yang lainnya, yaitu qubul dan dubur,-ed.), bahkan hal ini lebih utama, karena tempat untuk diistijmari itu dalam seharinya hanya (dibersihkan) dua atau tiga kali dalam sehari.
Begitu juga dalam masalah kain yang melebihi kaki seorang wanita, -menurut pendapat yang benar,- seperti yang pernah ditanyakan oleh seorang wanita kepada Ummu Salamah, “Sesungguhnya saya melebihkan ujung pakaianku, dan saya berjalan ditempat yang kotor?” Ia menjawab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ.
“Ia akan dibersihkan oleh (tanah) sesudahnya.”[4]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan kepada wanita untuk memanjangkan pakaiannya satu jengkal, dan sudah barang tentu itu akan mengenai kotoran, dan beliau tidak memerintahkan untuk mencucinya, bahkan memberikan fatwa kepada mereka, bahwa hal itu akan disucikan oleh tanah.
[Disalin dari Kitab Kaifa Tatakhallashu Minal Waswasati wa Makaayidisy Syaithaan Penulis Ahmad bin Salim Ba Duwailan, Judul dalam Bahasa Indonesia Bagaimana Terbebas Dari Waswas Penerjemah Nafi’, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1426 H - Februari 2005 M]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 385).
[2]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 386).
[3]. Sanadnya dha‘if sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar.
[4]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Sumber: http://almanhaj.or.id/
Oleh
Ahmad bin Salim Ba Duwailan
Termasuk dalam pembahasan ini adalah, beberapa hal yang telah dimudahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau adalah orang yang diutus dengan hanifiyyah samhah (lurus lagi mudah), lalu dipersulit oleh mereka. Di antara hal yang dijadikan mudah itu adalah, berjalan tanpa alas kaki di jalanan, kemudian shalat dengan tidak membasuh kakinya terlebih dahulu.
Abu Dawud telah meriwayatkan dalam Sunannya, dari seorang wanita Bani ‘Abdil Asyhal, dia berkata, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, kami memiliki jalan yang berbau busuk menuju masjid, apa yang harus kami lakukan kalau kami sudah bersuci,” beliau bersabda, ‘Bukankah sesudahnya ada tanah yang lebih baik,’ wanita itu menjawab, Aku berkata, ‘Ya,’ beliau bersabda, “Tanah yang baik tersebut adalah untuk tanah yang itu (yang bau).”
‘Abdulah bin Mas‘ud Radhiyallahu anhu mengatakan, “Kami tidak berwudhu’ karena tanah yang kami injak.”
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, bahwa dirinya berjalan pada tanah yang kena hujan, kemudian masuk masjid dan shalat, dan tidak mencuci kedua kakinya.
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma ditanya tentang seorang lelaki yang menginjak kotoran, beliau berkata, “Bila kering maka tidak mengapa, bila basah maka dicuci yang terkena.”
Hafsh mengatakan, “Aku berjumpa dengan ‘Abdullah bin ‘Umar, kami sedang menuju masjid, ketika kami sampai, aku berbelok menuju tempat bersuci untuk membasuh kedua kakiku yang tertimpa sesuatu, maka ‘Abdullah berkata, ‘Tidak usah engkau lakukan, sebab engkau tadi menginjak tempat yang kotor, kemudian setelah itu menginjak tempat yang baik, -atau dia mengatakan: yang bersih,- maka hal itu menjadi penyucinya, lalu kami masuk masjid dan melakukan shalat.”
Abu Sya’tsa’ mengatakan, “Adalah Ibnu ’Umar dahulu berjalan di Mina pada kotoran hewan, dan darah kering tanpa alas kaki, kemudian masuk masjid dan shalat di dalamnya dan tidak membasuh kedua kakinya.”
‘Imran bin Hudair mengatakan, “Aku berjalan bersama Abi Mujliz menuju shalat Jum’at, dan di jalanan terdapat kotoran yang kering, maka dia melewatinya dan berkata, ini tidak lain adalah barang-barang hitam saja (yang telah mengering), dia pun datang tanpa alas kaki ke masjid dan shalat tidak mencuci kedua kakinya.”
‘Ashim al-Ahwal mengatakan, “Kami mendatangi Abul ‘Aliyah, kemudian kami meminta air untuk berwudhu’, dia berkata, ‘Bukankah kalian telah berwudhu’?’ kami katakan, ‘Ya,’ tetapi (bagaimana) dengan kotoran-kotoran yang telah kami lewati itu?’ Dia berkata, ‘Apakah kalian menginjak sesuatu yang basah dan menempel pada kaki kalian?’ Kami katakan, ‘Tidak’, dia berkata, ‘Terus bagaimana dengan yang melebihi kotoran-kotoran ini, yang mengering kemudian ditebarkan oleh angin di kepala dan janggut kalian?’”
MENGGOSOK KHUF ATAU SEPATU BILA NAJIS MENGENAI BAGIAN BAWAHNYA
Termasuk dalam pembahasan ini adalah apabila khuf atau sepatu terkena najis pada bagian bawahnya, maka cukup dengan menggosokkannya di tanah, hal ini adalah mutlak (umum), dan sah pula shalat dengannya, berdasarkan Sunnah yang telah tetap. Hal ini dinashkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan dipilih oleh para muhaqqiq dari para sahabatnya.
Abul Barakat berkata, “Dan riwayat yang menyatakan Sah dengan menggosokkan secara mutlak adalah shahih menurutku, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَطِىءَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ اْلأَذَى، فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُوْرٌ، وَفِي لَفْظٍ: إِذَا وَطِىءَ أَحَدُكُمْ اْلأَذَى بِخُفَّيْهِ فَطَهُوْرُهُمَا التُّرَابُ.
“Bila salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka tanah menjadi penyucinya,”[1]25
dalam lafazh yang lain,
“Bila salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan kedua sepatunya, maka tanah/debu menjadi penyuci keduanya.”[2]
Abu Sa‘id al-Khudri Radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat, kemudian melepas kedua sandalnya, maka para Sahabat pun melepaskan sandal mereka, ketika telah selesai shalat beliau berbalik dan mengatakan, “Kenapa kalian lepas?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami melihatmu melepaskannya, maka kami pun melepasnya, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabariku bahwa ada kotoran pada kedua sandal, maka bila salah seorang dari kalian mendatangi masjid hendaknya membalikkan kedua sandalnya, kemudian lihatlah, kalau dia melihat ada kotoran (khobats), maka bersihkanlah ke tanah, kemudian shalatlah mengenakan keduanya.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Penjelasan hadits di atas: Tidaklah benar apabila sesuatu yang dianggap kotor itu ditafsirkan dengan ingus atau yang lainnya yang suci. Hal itu karena beberapa alasan :
Pertama: Bahwa semua hal itu tidak dinamakan kotoran.
Kedua: Ingus dan sejenisnya tidaklah diperintahkan untuk mengusapnya ketika shalat, karena tidak membatalkannya.
Ketiga: Tidak perlu melepas sandal karenanya dalam shalat, sebab berarti melakukan amal perbuatan yang tidak perlu, minimalnya adalah makruh.
Keempat: Ad-Daraquthni meriwayatkan dalam Sunannya pada hadits al-Khal’, dari riwayat Ibnu ’Abbas, bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Jibril mendatangiku, kemudian mengabariku, bahwa pada keduanya (sepasang sandal beliau) terdapat darah puting susu.”[3]
Karena biasanya sandal itu merupakan tempat yang sering terkena najis, sehingga cukup mengusapnya dengan benda keras, sebagaimana halnya tempat untuk di-istijmar-i (disucikan dengan menggunakan batu atau yang lainnya, yaitu qubul dan dubur,-ed.), bahkan hal ini lebih utama, karena tempat untuk diistijmari itu dalam seharinya hanya (dibersihkan) dua atau tiga kali dalam sehari.
Begitu juga dalam masalah kain yang melebihi kaki seorang wanita, -menurut pendapat yang benar,- seperti yang pernah ditanyakan oleh seorang wanita kepada Ummu Salamah, “Sesungguhnya saya melebihkan ujung pakaianku, dan saya berjalan ditempat yang kotor?” Ia menjawab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ.
“Ia akan dibersihkan oleh (tanah) sesudahnya.”[4]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan kepada wanita untuk memanjangkan pakaiannya satu jengkal, dan sudah barang tentu itu akan mengenai kotoran, dan beliau tidak memerintahkan untuk mencucinya, bahkan memberikan fatwa kepada mereka, bahwa hal itu akan disucikan oleh tanah.
[Disalin dari Kitab Kaifa Tatakhallashu Minal Waswasati wa Makaayidisy Syaithaan Penulis Ahmad bin Salim Ba Duwailan, Judul dalam Bahasa Indonesia Bagaimana Terbebas Dari Waswas Penerjemah Nafi’, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1426 H - Februari 2005 M]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 385).
[2]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 386).
[3]. Sanadnya dha‘if sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar.
[4]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Sumber: http://almanhaj.or.id/
No comments:
Post a Comment